Slawipos.com – Situs Liyangan Akan Jadi Cagar Budaya Nasional, Ini Alasannya, Situs Liyangan, sebuah peninggalan kerajaan Mataram Kuno di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, akan segera diusulkan menjadi cagar budaya nasional oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek RI). Situs ini dinilai memiliki nilai sejarah dan arkeologi yang tinggi, serta menunjukkan kemajuan peradaban masyarakat Jawa pada masa lalu.
Hal ini diungkapkan oleh Junus Satrio Atmodjo, arkeolog senior Kemendikbudristek RI dan anggota Tim Ahli Cagar Budaya Nasional, saat berkunjung ke Situs Liyangan pada Selasa (1/8/2023). Ia bersama timnya mendapat tugas khusus untuk mempersiapkan berkas pengusulan situs tersebut.
Menurut Junus, Situs Liyangan merupakan situs yang paling lengkap di antara situs-situs peninggalan Mataram Kuno lainnya. Di sana terdapat sisa-sisa teras batu, candi, lingga dan yoni, Arca Nandi, serta berbagai temuan arkeologi lainnya. Situs ini juga menjadi bukti adanya pemujaan Dewa Syiwa oleh masyarakat Hindu pada abad 8-9 Masehi.
“Mengapa daerah ini dipilih menjadi daerah suci, daerah keagamaan, sampai akhirnya orang di abad 8-9 Masehi membangun kompleks ini. Tentunya mereka punya alasan kuat, dikaitkan sistem kepercayaan yang waktu itu sedang berlangsung, terutama agama Hindu yang sifatnya adalah pemujaan Dewa Syiwa,” kata Junus.
Selain itu, Junus juga mengatakan bahwa Situs Liyangan menunjukkan adanya hubungan perdagangan antara masyarakat Jawa dengan Cina dan Timur Tengah. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya keramik dari Cina era Dinasti Tang dan pecahan kaca dari Persia dan Arab di situs tersebut. Temuan ini sejalan dengan data tentang kapal Arab yang tenggelam di perairan Belitung Barat yang membawa barang-barang dagangan dari Cina dan nusantara.
“Dibalik itu semua, kita menggambarkan peradaban orang Jawa, yang selalu digambarkan dengan Borobudur, Prambanan, itu di daerah dataran rendah yang kaya dengan padi, daerah subur, orangnya banyak bisa bikin bangunan besar. Nah, kok di sini (Liyangan) kita temukan juga sisa-sisa dari bangunan besar dari satu kompleks besar. Artinya, dulu penduduknya banyak, dan dari temuan-temuan sejauh ini ada hubungan kuat dengan Cina, Timur Tengah,” ujarnya.
Junus juga menambahkan bahwa Situs Liyangan memiliki konsep arsitektur yang berbeda dengan Borobudur dan Prambanan. Situs ini berbentuk punden berundak yang merupakan konsep prasejarah yang dipertahankan oleh masyarakat Jawa. Di situs ini tidak ada candi besar atau arca seperti di Prambanan. Junus menduga bahwa situs ini lebih mengutamakan pemujaan pada nenek moyang yang diyakini tinggal di puncak gunung.
“Dan kita bisa lihat sisanya tidak ada candi besar, candinya kecil-kecil, arca seperti di Prambanan juga tidak ada. Di sini yang lebih utama pemujaan pada nenek moyang, ini hipotesis saya, itu sebabnya peletakan di daerah pegunungan (punden berundak) karena puncak gunung dianggap sebagai tempat tinggal nenek moyang dan ketemu juga dari sisi mitologi Hindu-Buddha, puncak gunung itu kerajaan Dewa Indra penguasa gunung dan surga. Dibayangkan surganya ada di sana,” paparnya.
Saat ini, tim ahli cagar budaya nasional sedang melakukan pengukuran wilayah arkeologi di Situs Liyangan dengan menggunakan drone dan alat-alat lainnya. Tujuannya adalah untuk menentukan batas dari daerah yang akan diusulkan sebagai cagar budaya nasional. Junus berharap bahwa Situs Liyangan bisa segera mendapatkan status tersebut dan mendapat perlindungan lebih dari pemerintah dan masyarakat.